Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustadz, mohon dijelaskan apakah ada dalil yang
shohih untuk menjadi dasar hukum untuk
kebiasaan azan dan iqomat bagi bayi yang baru
lahir, sehingga dapat bernilai sebagai ibadah
kepada Alloh SWT.
Jazakalloh atas segera jawaban Ustadz
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Abu Zakia
Jawaban
Wa alaikumusalam warohmatullohi wa
barokaatuh
Sungguh suatu kebahagiaan jika kita mendapati
kaum muslimin di dalam setiap aktivitas
ibadahnya kepada Allah swt berlandaskan dalil,
baik Al Qur ’an maupun As Sunnah, sehingga
akan terpelihara dari kesesatan dan kesalahan.
Di antara hadits-hadits yang dipakai sebagai dalil
untuk menyuarakan adzan di telinga kanan dan
iqomat di telinga kiri adalah :
1. Sabda Rasulullah saw: “Siapa yang diberikan
bayi kemudian diadzankan di telinga kanan dan
mengiqomatkan di telinga kiri maka tidak akan
terkena bahaya gangguan setan. ”
Hadits ini maudhu’ (palsu) : Ia diriwayatkan oleh
Abu Ya’la didalam “Musnadnya” (4/1604), darinya
Ibnu as Sunni didalam “Amal al Yaum Wa al
Lailah” (200/617) demikian juga Ibnu ‘Asakir
(16/182/2) melalui jalan Abi Ya’la, Ibnu Basyron
didalam “Al Amaali” (88/1), Abu Thohir Al Qursyi
didalam “Hadits Ibnu Marwan al Anshori dan
selainnya” (2/1) dari jalan Yahya bin al “Alaa ar
Rozi dari Marwan bin Sulaiman dari Tholhah bin
Ubaidillah al Uqoily dari al Hasan bin ali marfu ’
Aku (Syeikh Albani) mengatakan : :”Sanad hadits
ini maudhu’ (palsu), Yahya bin al ‘Ala, Marwan bin
Salim yang menjadikan hadits ini maudhu’ dan
diperkuat oleh Ibnul Qoyyim dalam “Tuhfatul
Maudud” hal. 9 milik Al baihaqi dan dia
mengatakan : Isnad hadits ini dho’if (lemah).
2. Sabda Rasulullah saw : Dari Abu Rofi, “Aku
menyaksikan Rasulullah saw mengadzankan
dengan adzan sholat di telinga Hasan saat Fatimah
melahirkannya. ”
Tirmidzi mengatakan : ”Hadits Shohih dan
diamalkan.”
Al Mubarokfuriy yang menjelaskan hadits ini
mengatakan setelah dia menjelaskan kedhoifan
sanadnya dan berdalil dengan perkataan para
imam dalam riwayat ‘Ashim bin Ubaidillah : “Jika
engkau mengatakan : Bagaimana beramal
dengannya padahal ia dhoif (lemah)? Aku
mengatakan : “Ya, hadits ini lemah akan tetapi dia
diperkuat oleh hadits Husein bin Ali ra yang
diriwayatkan oleh Abu Ya ’la al Mushiliy dan Ibnu
as Sunni.” !
Perhatikanlah, bagaimana dia menguatkan yang
dhoif dengan yang maudhu ’, dan tidaklah itu
(dilakukan) kecuali dikarenakan tidak adanya
pengetahuan terhadap kemaudhuannya dan
pengelabuannya terhadap keinginan para ulama
yang kami sebutkan dan hampir-hampir aku pun
jatuh seperti itu, maka perhatikanlah!
Ya, barangkali penguatan hadits Abi Rofi’ dengan
hadits Ibnu Abbas : “Bahwasanya Nabi saw
mengadzankan di telinga Husein bin Ali pada hari
kelahirannya dan mengiqomatkan di telinga
kirinya. ” dikeluarkan oleh Baihaqi di dalam “Asy
Syu’ab” bersama hadits Hasan bin Ali dan dia
berkata: “Di dalam sanad keduanya ada
kelemahan.” Seperti juga disebutkan Ibnul
Qoyyim didalam “at Tuhfah” hal. 16.
Aku (Syeikh Albani) mengatakan :”Bisa jadi sanad
yang ini lebih baik dari sanadnya hadits Hasan
dikarenakan bisa memberikan persaksian
terhadap hadits Rofi ’. Wallahu A’lam.”
Jika demikian, maka hadits itu bisa menjadi dalil
untuk menyuarakan adzan karena ia juga terdapat
dalam hadits Abi Rofi ’. Adapun iqomat maka ia
ghorib (lemah). Wallahu A’lam
(Silsilah al Ahadits adh Dho’iifah Wal Maudhu’ah,
jilid 491 – 493
Jadi dari penjelasan di atas tampak bahwa hadits-
hadits tersebut termasuk kategori dhoif (lemah).
Namun demikian, terjadi perbedaan ulama dalam
hal beramal dengan hadits yang dhoif :
1. Pendapat pertama : Tidak boleh sama sekali
beramal dengan hadits dhoif, tidak dalam hal
keutamaan ataupun hukum. Ini adalah pendapat
Yahya bin Ma ’in, Abu Bakar al ‘Arobi, Imam
Bukhori dan Muslim dan juga Ibnu Hazm.
2. Pendapat Kedua : Dibolehkan beramal dengan
hadits dho ’if. Ini pendapat Abu Daud dan Imam
Ahmad.
3. Pendapat Ketiga : Dibolehkan beramal dengan
yang dhoif dalam hal-hal keutamaan, nasehat-
nasehat dan yang sejenisnya selama memenuhi
persyaratan —sebagaiamana disebutkan oleh
Syiekhul islam Ibnu Hajar—yaitu :
1. Dhoifnya tidak keterlaluan.
2. Termasuk dalam pokok-pokok yang
diamalkan.
3. Tidak meyakini bahwa amal itu betul-betul
terjadi akan tetapi meyakini secara hati-hati.
(Ushul al Hadits ‘Ulumuhu Wa Mushtholatuhu,
DR. Muhammad ‘Ajjaj al Khotib, hal 351)
Wallahu A’lam
by alan santri
dikutip dr eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar